Kebakaran, merupakan suatu hal yang pada dasarnya tidak diinginkan oleh siapapun juga. Betapa tidak, kebakaran membuat segala yang kita bangun dan kita usahakan selama bertahun-tahun, rusak dan musnah dalam sekejab. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak yang menjadi korban ataupun kerugian materiil yang harus ditanggung karena musibah tersebut. Belum lagi kerugian-kerugian yang bersifat  non materiil yang tentu saja tidak bisa digantikan dengan apapun juga. Dalam statistic kebakaran di Kota Jakarta misalnya, sampai dengan bulan September 2009 telah terjadi 533 kasus kebakaran (dihitung per tanggal 1 Januari 2009) dengan kerugian sebesar kurang lebih Rp. 204.685.400.000, (dua ratus empat …. milyar rupiah). Suatu nilai yang fantastis ditengah krisis ekonomi yang melanda negara kita. Ribuan orang terpaksa kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, pekerjaan, dan masa depan karena kejadian tersebut. Sungguh merupakan suatu ironi yang tragis.

Disisi lain ancaman kebakaran terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena perkembangan kebutuhan manusia yang semakin dinamis. Implikasinya berupa pembangunan kawasan pemukiman, industri, pariwisata, pusat perbelanjaan dan lain-lain, serta eksploitasi dibidang sumber daya energi dan mineral, yang kesemuanya bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya tinggal apakah pembangunan tersebut memperhatikan aspek keselamatan ataukah tidak. Apabila jawabannya adalah “Tidak”, maka jelas sekali potensi dampak yang akan diterima pasca kebakaran akan relatif tinggi, namun sebaliknya apabila jawabannya “Ya” maka walaupun potensi resiko yang dihadapi tetap meningkat namun potensi dampak yang harus diterima bisa ditekan seminimal mungkin.

Pada intinya pembahasan diatas akan membawa kita pada suatu kesimpulan, bahwa “Resiko Kebakaran akan Terus Meningkat dan Berbanding Sejajar dengan Perkembangan Dinamika Hidup Manusia, Namun Pembangunan Yang Memperhatikan aspek Keselamatan Akan Meminimalisir Dampak Yang Harus Diterima apabila Terjadi Suatu Musibah”.

Dari teori diatas dapat kita ketahui bahwa peningkatan frekuensi kebakaran bukan merupakan suatu yang patut dipermasalahkan, namun urgency-nya terletak pada sejauh mana dampak yang mungkin timbul karena kejadian tersebut bisa diminimalisrir.

Realita Umum

seseorang akan cenderung menolak pada saat menerima penawaran untuk instalasi system proteksi (kebakaran) pada bangunan/gedung miliknya. Berbagai macam alasan yang diberikan, mulai dari aktifitas yang jauh dari pekerjaan berbahaya atau tidak berhubungan dengan api sehingga beranggapan tidak mungkin terjadi kebakaran, sampai dengan alasan financial (harga yang relatif mahal). Kebanyakan orang yang kemudian bersifat acuh tak acuh terhadap resiko kebakaran. Tidak mudah kiranya untuk mengubah mindset didalam masyarakat yang terlanjur apatis seperti ini. Namun sangat perlu juga kiranya bagi kita untuk bisa mengubah sedikit demi sedikit cara pandang masyarakat seperti ini dimulai dari diri sendiri mengingat besarnya dampak yang mungkin ditimbulkan karena kebakaran.

Lebih jauh, sebenarnya apa sih yang menyebabkan kita harus memproteksi diri dari kebakaran ?

Ada dua alasan mengapa kita perlu memproteksi diri, keluarga dan harta benda kita dari kebakaran.

Yang pertama, alasan-alasan yang berkaitan dengan analisa teknis. Penanggulangan kebakaran oleh instansi terkait (pemadam kebakaran) memerlukan waktu dalam pelaksanaannya yang disebut dengan fire respon time. Regulasi kita mensyaratkan bahwa standar untuk waktu fire respontime ini adalah 15 menit siap operasi pemadaman (diartikan sejak diterimanya berita kebakaran, perjalanan ke lokasi, sampai dengan siap operasi pemadaman). Dalam prakteknya respontime ini juga sangat dipengaruhi oleh karakteristik daerah, terutama jalur lalu lintas dan tata kota. Dengan kata lain respontime antara satu daerah dengan daerah yang lain sangat mungkin untuk berbeda. Semakin padat arus lalu lintas atau semakin ruwet tata kota pada suatu daerah, maka respontime yang semakin panjang dan penanganan kebakaran akan semakin terlambat. Hal tersebut belum lagi ditambah respontime seseorang dalam melaporkan kejadian kebakaran kepada institusi pemadam kebakaran. Kebanyakan masyarakat akan berusaha memadamkan api sendiri sebelum menghubungi petugas pemadam, padahal hal tersebut adalah tidak benar, antara proses penanganan kebakaran sendiri oleh masyarakat dan pelaporan berita kebakaran kepada institusi pemadam kebakaran harus berjalan secara bersamaan agar mendapatkan penanganan yang efektif.

Yang kedua, yaitu alasan-alasan yang berkaitan dengan dampak sosial yang ditimbulkan. Dampak kebakaran akan dapat dirasakan pada seluruh aspek kehidupan masyarakat yang menjadi korban kerbakaran tersebut. Mulai dari kehilangan harta benda, atau keluarga, atau bahkan nyawa yang tentu saja tidak dapat diukur dengan materi.

Apabila kebakaran melanda suatu perusahaan atau tempat usaha, maka akan menyebabkan tidak terpenuhinya downtime atau waktu jatuh tempo yang telah ditetapkan didalam setiap transaksi. Akibatnya adalah hilangnya kepercayaan klien bisnis kita. Klien kita tidak akan pernah bisa menerima alasan keterlambatan kita dalam memenuhi downtime tersebut, karena mereka mempunyai kepentingan untuk kelangsungan bisnis mereka sendiri. Lambat laun pasar akan berangsur menjauhi kita. Disisi lain, waktu, tenaga, pikiran kita akan kita curahkan hanya untuk memperbaiki keadaan, bukan untuk merencanakan bisnis kedepan. Sejumlah karyawan terpaksa “dilepaskan” untuk menekan cost yang harus dikeluarkan. Akibatnya keadaan akan semakin terpuruk.

Asuransi kebakaran kita tidak akan mampu berbuat banyak dalam mengatasi kondisi seperti ini. Mungkin asuransi akan mengganti seluruh atau sebagian biaya yang timbul karena kerusakan property yang diakibatkan oleh kebakaran. Namun asuransi tidak akan pernah bisa mengganti kerugian kita karena melesetnya downtime dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan rekondisi property yang rusak karena kebakaran.

Selanjutnya terletak pada sejauhmana tingkat kesadaran dan komitmen kita dalam meminimalisir potensi dan dampak kebakaran yang mungkin terjadi. Lima hal yang menjadi tolok ukur kesungguhan kita dalam hal keselamatan kebakaran ini, antara lain : komitmen, penyusunan regulasi, pembekalan sarana proteksi (aktif/pasif) yang sesuai dengan standar, pembentukan organisasi pencegah dan penanggulangan kebakaran, serta program pemeliharaan sarana proteksi dan pelatihan tanggap darurat secara berkelanjutan. Hal ini kemudian disebut dengan Fire Safety Management.